Makalah Hukum Acara Peradilan Militer : Di kutif dari Buku Hukum Acara Peradilan Militer Bab IV-VII

BAB I
PERADILAN MILITER BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

A.   Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Yang Menjadi Landasan Sistem Peradilan Militer dan Hukum Acara Pidana Militer Saat Ini.
            Peradilan militer saat ini berpijak pada Undang-Undang No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam salah satu pertimbangannya, undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pengaturan tentang Pengadilan dan Oditurat serta Hukum Acara PIdana Militer yang selama ini berlaku dalam undang-undang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UNdang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982.
            Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, meruakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata. Pengadilan yang bernaung di bawah pengadilan militer terdiri dari :
a.       Pengadilan militer.
b.      Pengadilan militer tinggi.
c.       Pengadilan militer utama.
d.      Pengadilan militer pertempuran.
      Pengadilan militer untuk semua tingkatan secara umum memiliki yuridiksiterhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada waktu melakukan tindak pidan, yaitu :
a.       Prajurit
b.      Yang berdasarkan undang-undang dopersamakan dengan prajurit.
c.       Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang.
d.      Seseorang yang tidak termasuk golongan di atas tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
                  Kewenangan lain dari pengadilan yang bernaung di bawah peradilan militer adalah :
a.         Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
b.         Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

1.         Susunan dan Kewenangan Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer
      Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer sebagaimana dijelaskan menjadi 4 pengadilan dengan kompetensi yang berbeda dalam hal memeriksa dan memutus perkara, yaitu :
a.       Pengadilan Militer.
Berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Kapten ke bawah.
b.      Pengadilan Militer Tinggi.
Berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama yang terdakwanya berpangkat Mayor ke atas dan memeriksa serta memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer yang dimintakan banding. Selain itu bertugas juga dalam memutus dan menyelesaikan Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
c.       Pengadilan Militer Utama.
Berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding.
d.      Pengadilan Militer Pertempuran.
Berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan di daerah pertempuran, Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mrngikuti gerakan pasukan danberkedudukan serta berdaerah hukum di tempat terjadinya pertempuran.

2.      Susunan Oditurat Dalam Peradilan Militer.
      Oditurat adalah pelaksanaan kekuasaan pemerintahan Negara dibidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata sebagaimana diatur dalam undang-undang. Oditurat memiliki tugas dan wewenang yang tingkatannya tidak berbeda dengan pengadilan yang bernaung di bawah peradilan militer, yaitu :
a.       Oditurat Militer.
Melakukan penuntutan dalam  perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Kapten ke bawah, melaksanakan pemetapan hakim dan putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, melakukan pemeriksaan tambahan.
b.      Oditurat Militer Tinggi.
Melakukan penunututan dalam perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Mayor ke atas. Melaksanakan penetapan Hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, melakukan pemeriksaan tambahan.
c.       Oditurat Jenderal.
Bertugas dan berwenang membina, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenana Oditurat, menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan penegakan dan kebijakan pembinaan dan menyelesaikan serta melaksanakan penuntutan perkara pidanan tertentu yang acaranya diatur secara khusus.
d.      Orditurat Pertempuran.elaksanakan penetapan hakim atau
Melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya adalah militer, melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan militer pertempuran.

3.      Susunan Dalam Persidangan.
            Dlam pelaksanaan siding, pengadilan militer maupun pengadilan tinggi militer bersidang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana pada tingkat pertama dengan susunannya terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Ketua, dan 2 (dua) orang Hakim Anggota, yang dihadiri oleh 1 (satu) orang Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada timngkat pertama dengan susunan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota, yang dibantu oleh 1 (satu) orang Panitera.
Dalam pemeriksaan tingkat banding maka Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama terdiri dari 1 (satu) orang Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
4.      Susunan Kepangkatan Dalam Persidangan.
      Kepangkatan yang berlaku dalam persidangan di Pengadilan Militer adalah Hakim Ketua paling rendah Mayor dan Hakim Anggota serta Oditur Militer paling rendah Kapten, sedangkan Panitera paling rendah Pembantu Letnan Dua dan paling tinggi Kapten.
      Untuk persidangan di pengadilan militer tinggi, Hakim ketua paling rendah Kolonel dan Hakim Anggota serta Oditur Militer paling rendah Letnan Kolonel, sedangkan Panitera paling rendah Kapten dan paling tinggi Mayor.

B.       Hukum Acara Pidana Secara Umum
1.      Tujuan Hukum Acara Pidana
                Menurut buku pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman dijelaskan bahwa :
                “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan, guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana elah dilakukan dan apakah orang yang didakwa dapat dipersalahkan.”
                ASS Tambunan adalah seorang pakar hukum militer, membandingkan keinginan untuk memisahkan kewenangan mengadili terhadap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP dan KUHPM ang dilakukan oleh militer dengan yang berlaku dalam system peradilan di Amerika Serikat khususnya yang menyangkut dengan peradilan militer :
                “ Memang menurut ketentuan undang-undang di Amerika Serikat, para prajurit yang melakukan pelanggaran pidana yang diatur dalam undang-undang pidana umum diawali oleh peradilan umum. Akan tetapi dilupakan bahwa menurut undang-undang yang mengatur peradilan militer di Amerika Serikat para prajurit yang melanggar ketentuan-ketentuan UCMJ ( Uniform Code of Military Justice) diadili oleh peradilan militer.”


2.      Sistematika Hukum Acara Pidana Militer.
                Hukum acara pidana militer disusun sebagai berikut :
a.       Bagian pertama tentang Penyidikan.
Paragraf 1 Penyidik dan Penyidik Pembantu (Pasal 69-74)
Paragraf 2 Penangkapan dan Penahanan (Pasal 75-81)
Paragraf 3 Penggeledahan dan Penyitaan (Pasal 82-95)
Paragraf 4 Pemeriksaan Surat (Pasal 96-98)
Paragraf 5 Pelaksanaan Penyidikan (Pasal 99-121)
b.      Bagian kedua tentang Penyerahan Perkara. (Pasal 122-131)
c.       Bagian ketiga tentang Pemeriksaan Disidang Pengadilan
Paragraf 1 Persiapan Persidangan (Pasal 132-136)
Paragraph 2 Penahanan (Pasal 137-138)
Paragraph 3 Pemanggilan (Pasal 139-140)
d.      Bagian keempat tentang Acara Pemeriksaan Biasa
Paragraph 1 Pemeriksaan dan Pembuktian (Pasal 141-181)
Paragraph 2 Penuntutan dan Pembelaan (Pasal 182)
Paragraph 3 Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi (Pasal 183-187)
Paragraph 4 Musyawarah dan Putusan (Pasal 188-197)
e.       Bagian kelima tentang Acara Pemeriksaan Koneksitas (Pasal 198-203)
f.       Bagian keenam tentang Acara Pemeriksaan Khusus (Pasal 204-210)
g.      Bagian ketujuh tentang Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 211-214)
h.      Bagian kedelapan tentang Bantuan Hukum (Pasal 215-218)
i.        Bagian kesembilan tentang Upaya Hukum Biasa.
Paragraph 1 Pemeriksaan Tingkat Banding (Pasal 219-230)
Paragraph 2 Pemeriksaan Tingkat Kasasi (Pasal 231-244)
j.        Bagian kesepuluh tentang Bantuan Hukum LUar Biasa
Paragraph 1 Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan Umum (Pasal 245-247)
Paragraph 2 Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan yang Sudah Mendapatkan Kekuatan Hukum Tetap (Pasal 248-253)
k.      Bagian kesebelas tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Pasal 254-261)
l.        Bagian keduabelas tentang Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Pasal 262-263)
m.    Bagian ketiga belas tentang Berita Acara (Pasal 264)
3.      Tahapan Dalam Penyelesaian Perkara
                Tahapannya adalah sebagai berikut :
a.       Tahap Penyidikan
b.      Tahap Penyerahan Perkara
c.       Tahap Pemeriksaan dalam Persidangan
d.      Tahap Pelaksanaan Putusan

C.       Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Militer
          Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.        Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Ini adalah merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 5 ayat (2).
2.        Praduga Tak Bersalah
Terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggp tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
3.        Asas Oportunitas
Menurut Z. Abidin “Asass hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah menunjukan delik demi kepentingan umum.”
4.        Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
       KUHAP mengatur asas ini dalam Pasal 153 ayat (3) dan (4) menyatakan :
“Untuk keperluan pemeriksaan Hakim Ketua sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak.”
5.        Semua Orang Diperlakukan Sama Didepan Hukum
Asas ini dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yaitu : “Penngadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”


6.        Peradilan Dilakukan oleh Hakim karena Jabatannya dan Tetap
Ini berarti bahwa keputusan diambil oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.
7.        Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
KUHAP mwngatur tentang bantuak hukum tersebut dalam Pasal 69 sampai Pasal 74 dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang antara lain :
a.       Bantusn hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditahan atau ditangkap.
b.      Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c.       Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkatan pemeriksaan pada setiap waktu.
d.      Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik atau penuntut umum kecuali untuk delik yang menyangkut keamanan Negara.
e.       Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.
f.       Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima dari dan kepada tersangka/terdakwa.
8.        Asas Inkusator dan Akusator
Dalam Asas Inkusator, tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan, posisis tersangka tidak sejajar melainkan berada dibawah pemeriksaan sehingga dalam pemeriksaan pendahuluan yang dianut dalam asas ini lebih mengutamakan pengakun dari tersangka. Namun dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 172 hukum acara peradlan militer mengganti pengakuan tersangka dengan keterangan tersangka, sehingga Asas Inkusator ditinggalkan dan diganti Asas Akusator yang menempatkan tersangka sejajar dengan pemeriksaan.
9.        Pemeriksaan Hakim Yang Lamgsung dan Lisan
Pemeriksaan disidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.
              
                        Selain asas-asas diatas, hukum acara peradilan militer memberlakukan pula asas sebagai berikut :
1.        Asas Kessatuan Komando
Dalam hukum acara pidanan militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan.
2.        Asas Komandan Bertanggung Jawab Terhadap Anak Buahnya
Dalam tata kehidupan dan cirri-ciri organisasi mliter, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga komandan bertanggung jawab penuh terhadap anak buahnya.
3.        Asas Kepentingan Militer
Dalam hukum peradilan militer, ada keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan hukum.

D.       Hukum Acara Tata Usaha Militer
1.      Tata Usaha MIliter Sebelum Tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
 Peradilan tata usaha mulai disinggung diantaranya terdapat dalam konstitusi RIS pada Pasal 161 dan 162 yang isinya mengenai suatu ketentuan pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada alat-alat perlengkapan lain.
2.      Hukum Tata Usaha Militer dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
Hukum tata usaha Negara yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1958 diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997tentang Peradilan Militer bersama dengan hukum acara pidana militer dan hukum tata usaha militer.

BAB II
HUKUM MILITER DAN PELAKSANAANNYA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

A.      Munculnya Perhatian Terhadap Hukum Militer
Perhatian terhadap dunia militer baru ada sejak setelah Perang Dunia ke-II terutama setelah para penjahat perang dihukum.
B.       Pengertian Tentang Hukum Militer
Pengertian hukum militer sampai saat ini masih belum ada keseragaman, ini merupakan hal yang biasa di dunia hukum, karena menyangkut sebuah pengertian hukum para ahli hukum memiliki pendapat yang berbeda.
C.       Berlakunya Hukum Pidana Di Lingkungan Militer
Sebagai warga Negara, anggota militer sama dengan warga Negara lainnya di dalam hukum, namun hukum yang berlaku bagi masyarakat umum berlaku bagi militer, namun untuk kalangan militer selain hukum yang bersifat umum juga bersifat generallis.

1.      Hukum Pidana Umum.
Hukum pidana dibagi menjadi hukum objektif dan hukum subjektif.Sedangkan hukum pidana objektif dubagi menjadi 2 bagian yaitu hukum pidana dalam arti materil yang membahas peraturan-peraturan yang mengatur tentang perbuatan apa saja yang bisa dijatuhi hukuman. Dan hukum pidana dalam arti formil yang mengatur tentng bgaimana caranya Negara mengatur penggunaan perantara alat-alat perantaranya (Polisi, Jaksa, Hakim).
2.      Hukum Pidana Militer
Dari sudut justisiabel hukum pidana militer adalah bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat militer yang tunduk kepada system peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang perbuatan apa saja yang diijinkan dan tidak diijinkan.
3.      Tindak Pidana Militer
a.       Tindak Pidana. Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda Het strafbar feityang artinya adalah suatu tindakan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
b.      Tindak Pidana Militer. Tindak pidana militermasuk pada kelompok tindak pidanan khusus, ini karena tindak pidana militer terjadi dalam lingkungan kemiliteran.
4.      Yustisiabel dan Yuridiksi Peradilan Militer.
a.       Militer. Militer terbagi menjadi 4 golongan yaitu :
1.      Militer sukarela Pasal 46 ayat (1)
2.      Militer wajib Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48
3.      Sukarelawan Pasal 46 (1) ke-2
b.      Yang Dipersamakan dengan Militer
Orang-orang yang dipersamakan dengan militer antara lain :
1.      Milwa diluar dinas
2.      Bekas militer yang melakukan kejahatan
3.      Orang yang bekerja pada Angkatan Perang sekian lama
4.      Komisaris-komisaris militer
5.      Yang memakai pangkat Tituler
6.      Militer asing
c.       Non-Miiter. Adalah masyarakat sipil.
5.      Berlakunya Hukum Pidana Militer di Indonesia.
                        Hukum militer yang sekarang digunakan berasal dari Hukum Pidana Militer peninggalan penjajah Belanda pada Tahun 1942.
6.      Riwayat Ringkas KUHPM
a.         Tahun 1799. Pada saat itu KUHPM terdiri dari 3 yaitu :
1.      Yuridiksi Peradilan Militer
2.      Kejahatan Militer
3.      Hukum acaranya
b.         Tahun 1807. Pada saat itu Negara diduduki Perancis, maka diberlakukan Code Penal Militaire oleh Perancis selaku penjajah.
c.         Tahun 1813. KUHPM berlaku kembali setelah Indonesia dikuasai lagi oleh para Penjajah Belanda.
d.        Tahun 1886. KUHP yang baru diberlakukan.
e.         Tahun 1903. Dengan keputusan raja pada tangal 7April 1903 karena sedang terjadi Perang Dunia I maka berlaku KUHPM dan KUHDM.
f.          Tahun 1934. Pada tahun ini berlakunya KUHPM dan KUHDM diundangkan dengan Stbl. 1934 Nr 167 dan Nr 168.
g.         Zaman penjajahan Jepang. Pada masa ini KUHPM dan KUHDM tidak berlaku.
h.         17 Agustus 1945. KUHPM dan KUHDM berlaku kembalia dengan adanya revisi.
7.      Sistematika KUHPM
Berbeda dengan KUHP yang terdiri dari 3 buku yaitu Ketentuan Umum, Kejahatan dan Pelanggaran. KUHPM hanya terdiri dari 2 buku, yaitu Ketentuan Umum dan Kejahatan.
8.      Prinsip-Prinsip Umum
Dalam KUHPM berlaku suatu prinsip umum yang walaupun tidak tegas diatur namun berlaku dalam penerapan KUHPM yang terdiri dari :
a.       KUHPM merupakan satuan hukum bagi militer
b.      Kodifikasi sendiri
c.       Hukum acara pidana dan peradilan militer sendiri
d.      Yurisdiksi sendiri
e.       Kemungkinan penyelesaian suatu tindak pidana secara hukum disiplin
f.       Penerapan ketentuan-ketentuan umum
g.      Tidak mengenal pemidanaan kolektif
9.      Hukum Disiplin Militer
Hukum disiplin militer mengenal 2 jenis pelanggaran, yaitu :
a.       Pelanggaran hukum disiplin murni
b.      Pelanggaran hukum disiplin tidak murni


BAB III
PERADILAN MILITER DALAM SEBUAH PERSPEKTIF
A.    Peradilan Militer Menuju Tunduknya Militer Dalam Peradilan Umum
Suatu perubahan dalam pembangunan hukum tidak dilarang bahkan dapat dikatakan hal yang wajar dan sah-sah saja dan sangat berguna untuk mencapai perubahan yang lebih baik. C.F.G. Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa makna dari pembangunan hukum akan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.         Menyempurnakan
2.         Mengubah agar lebih baik
3.         Mengadakan sesuatu yang belum ada
4.         Meniadakan sesuatu yangterdapat dalam system lama karena tidak diperlukan atau sudah tidak cocok dengan system yang baru.
B.     Perubahan Paradigma Dalam Sistem Peradilan Militer Menuju Keterbukaan
         Peradilan militer bukan hanya milik militer dan bagi kepentingan militer saja melainkan milik masyarakat secara umum dan untuk kepentingan masyarakat umum juga. Kepentingan yang lebih mendasar adalah terkait dengan perlindungan hukum bagi masyarakat luas. Sehingga, secara internal perlu adanya sebuah paradigma baru bagi system peradilan militer untuk membuka diri bagi pihak luar untuk menyelesaikan berbagai proses yang menyangkut system peradilan militer.
C.     Peningktan Profesionalisme Dalam Badan-Badan Lingkungan Peradilan Militer
         Selain keerbukaan sikap dan juga keterbukaan informasi , pelayan aparatur terhadap pencari keadilan dalam lingkungan peradilan militer terkesan kaku dan masih menonjolkan sikap militeristis.
         Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa penegakan hukum dilingkungan TNI daam satu dasawarsa terakhir menjadi sorotn tajam. Persoalan ini muncul karena masyarakat menilai dalam banyak kasus yang melibatkan anggota TNI sering tidak tersentuh hukum dan tidak jelas ujungnya. Khususnya dalam tindakan atau perbuatan yang tidak termasuk dalam tindak pidana umum diluar tindak pidana militer tidak terjadi dikemudian hari.

BAB IV
PENUTUP
                     Melihat perjalanan sejarah peradilan militer yang awalnya dapat dikatakan “tunduk” pada peradilan umum bila dilihat dari hukum acara yang digunakan dalam peradilan militer adalah sama dengan yang digunakan oleh peradilan umum yaitu HIR serta pejabat-pejabat dalam lingkungan peradilan militer adalah juga pejabat-pejabat dalam lingkungan peadilan umum, namun lambat laun kondisi seperti itu dirasakan mengganggu system yang berlaku dalam organisasi militer, hal ini disebabkan peran seorang Komandan sangat mutlak dalam menentukan nasib anak buahnya atau prajurit yang berada di bawah garis komandonya, termasuk dalam penanganan proses hukum terhadap prajurit yang melakukan pelanggaran hukum, hal ini erat hubungannya dengan peran komandan dalm menjaga dan memelihara kondisi kemampuan satuan serta mobilitas yang harus selalu dipelihara dan dijaga dalam menunjang tugas pokok sebagai alat pertahanan dan penjaga kedaulatan Negara.
                     Perubahan Undang-Undang Peradilan Militer yang selalu diikuti dengan perubahan terhadap Hukum Acara Pidana Militer, bila hal ini dilakukan tentunya perlu mengingat kepentingan yang terdapat dalam organisasi militer itu sendiri, namun tidak berarti mengenyampingkan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan umum, sehingga dua kepentingan ini tidak bersinggungan dalam upaya penegakkan hukum di Indonesia. Prinsip kesamaan di hadapan hukum tanpa melihat status dan golongan harus menjadi sandarn utama.
                     Hukum Acara Peradilan Militer yang sampai saat ini masih dalam perdebatan terkait revisi yang akan dilakukan dengan kehendak untuk melakukan transplantasi hukum di Negara lain yang menundukan militer kepada peradilan umum semoga tidak membuat system peradilan di Indonesia malah menjadi terbebani dengan masuknya militer dalam yurisdiksi peradilan umum sebagaimana contoh yang dikemukakan oleh Menteri Pertahanan Joewono Soedarsono tentang seorang prajurit yang melakukan tindak pidana desersi dan pada saat desersi tersebut melakukan tindak pidana seperti penganiayaan dan pencurian. Bila dipisahkan antara perkara desersi dan yang diadili oleh peradilan militer dan tindak pidana lainnya diadili oleh peradilan umum, maka hal tersebut menjadi permasalahan teknis hukum yang sangat komplek serta memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tidak ringan. Selain itu secara teknis hukum, stelsel pemidanaan yang diatur dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP tidak akan dapat diterapkan, sebagai contoh bahwa hakim pengadilan umum tidak berwenang menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer bagi seorang prajurit yang melakukan tindak pidana umum, walaupun tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana berat.